Oleh. Romi Mesra (Pengamat Sosiologi Digital Universitas Negeri Manado)
MASYARAKAT sering dikecewakan oleh para pemimpin yang “asal bunyi” bahkan terkesan muluk-muluk dalam menyampaikan janji-janji ketika kampanye demi meraup suara pemilih, namun janji-janji tersebut tidak pernah direalisasikan seakan hilang ditelan bumi setelah mereka terpilih. Ini menjadi salah satu contoh pemimpin yang tidak bisa dipercaya alias pemimpin munafik “tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat).
Di era digital yang semakin maju, jejak digital seseorang telah menjadi cermin yang merefleksikan karakter, pemikiran, dan integritas mereka. Hal ini tak terkecuali bagi para calon pemimpin daerah yang tengah berkompetisi untuk menduduki kursi kepemimpinan. Masyarakat kini memiliki akses yang belum pernah ada sebelumnya untuk mengenal lebih dekat para calon pemimpinnya melalui berbagai platform digital, mulai dari media sosial hingga blog pribadi dan situs resmi. Jejak digital ini bukan hanya soal kepemimpinannya sebelumnya namun juga bagaimana peran calon pemimpin tersebut di masyarakat pada masalalu yang bisa dijadikan pertimbangan dalam memberikan suara nantinya.
Fenomena ini membuka peluang baru bagi demokrasi partisipatif, di mana warga dapat secara aktif menilai dan memilih pemimpin berdasarkan informasi yang lebih komprehensif. Sebagai contoh, kasus seorang calon bupati di Jawa Tengah yang unggahan-unggahan lamanya di media sosial menunjukkan inkonsistensi dengan program yang dia usung saat kampanye, menjadi viral dan mempengaruhi persepsi publik. Ini menunjukkan bagaimana jejak digital dapat menjadi sumber informasi yang berharga bagi pemilih.
Namun, penting untuk diingat bahwa menelusuri jejak digital bukanlah proses yang selalu mudah dan bebas bias. Teori sosiologi digital mengingatkan kita bahwa representasi diri secara online sering kali merupakan versi yang sudah dikurasi, dan tidak selalu mencerminkan keseluruhan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, masyarakat perlu memiliki literasi digital yang memadai untuk dapat menginterpretasikan informasi online secara kritis.
Dalam konteks komunikasi digital, konsep “networked publics” yang diperkenalkan oleh danah boyd menjadi relevan. Calon pemimpin daerah kini berinteraksi dalam ruang publik yang terjalin dalam jaringan digital, di mana setiap interaksi dapat diarsipkan, direplikasi, dan disebarluaskan dengan cepat. Hal ini menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi para kandidat untuk menunjukkan konsistensi dan integritas mereka dalam jangka panjang.
Salah satu aspek penting yang dapat ditelusuri melalui jejak digital adalah konsistensi sikap dan pandangan calon pemimpin terhadap isu-isu krusial. Sebagai contoh, seorang calon walikota di Sulawesi yang secara konsisten menyuarakan pentingnya pelestarian lingkungan selama bertahun-tahun di media sosialnya, mendapatkan dukungan kuat dari kelompok environmentalis. Ini menunjukkan bagaimana jejak digital yang konsisten dapat membangun kredibilitas dan dukungan publik.
Di sisi lain, jejak digital juga dapat mengungkap sisi-sisi yang mungkin tidak terlihat dalam kampanye formal. Komentar-komentar lama di forum online atau interaksi di media sosial dapat memberikan gambaran tentang bagaimana seorang calon pemimpin berinteraksi dengan orang lain, menangani kritik, atau merespons situasi krisis. Kemampuan-kemampuan ini sangat penting dalam kepemimpinan dan sulit untuk dinilai hanya dari kampanye politik yang telah dirancang dengan hati-hati.
Teori dramaturgi digital yang dikembangkan dari pemikiran Erving Goffman juga relevan dalam konteks ini. Para calon pemimpin daerah kini harus mampu mengelola “panggung depan” dan “panggung belakang” mereka di dunia digital. Kemampuan untuk tetap autentik sambil mengelola citra publik menjadi keterampilan yang semakin penting bagi para politisi di era digital.
Meski demikian, kita juga perlu waspada terhadap manipulasi digital dan penyebaran informasi palsu. Fenomena deepfake dan disinformasi yang terorganisir dapat mengaburkan penilaian terhadap jejak digital seseorang. Oleh karena itu, verifikasi dan triangulasi informasi dari berbagai sumber tetap menjadi langkah penting dalam proses penelusuran jejak digital calon pemimpin.
Dalam konteks yang lebih luas, penelusuran jejak digital para calon pemimpin daerah dapat mendorong terciptanya budaya politik yang lebih transparan dan akuntabel. Ketika para politisi menyadari bahwa setiap tindakan online mereka dapat menjadi bahan pertimbangan publik, mereka cenderung akan lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam berinteraksi di dunia digital.
Kesimpulannya, menelusuri rekam jejak digital calon pemimpin daerah memang bukan satu-satunya cara untuk menilai integritas mereka, namun ini merupakan salah satu kunci penting dalam proses pemilihan. Dengan memadukan pemahaman terhadap teori-teori sosiologi digital dan komunikasi digital, serta tetap menjaga sikap kritis, masyarakat dapat memanfaatkan kekayaan informasi di era digital untuk membuat keputusan politik yang lebih informati dan bijaksana. Pada akhirnya, hal ini diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas demokrasi dan kepemimpinan di tingkat daerah. (SN)
Leave a Reply